Friday, June 24, 2011

Tipu-tipu Pengangkatan Tenaga Honorer 2011-2012-2013

Tenaga honorer (TH) adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu pada instansi pemerintah, adapun penghasilannya menjadi beban APBN/APBD.

TH diangkat untuk memenuhi keterbatasan jumlah PNS yang ada di instansi pemerintah. Khusus di daerah, kebanyakan TH diposisikan sebagai guru; tenaga kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan; tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan, peternakan; dan tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah daerah (pemda).

Oleh: Moh. Ilham A. Hamudy, Staf BPP Kementerian Dalam Negeri
Mengacu pada PP No 48 Tahun 2005 jo PP No 43 Tahun 2007, pengangkatan TH sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) saat ini menjadi prioritas tersendiri dalam rekrutmen pegawai, terutama di daerah. Hampir setiap tahun pemda mengajukan formasi pengangkatan TH.

Di lingkup Pemprov Sulsel, misalnya, ada sekira 600-an TH. Namun, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sulsel mengatakan, untuk tahun ini Sulsel belum mendapat jumlah formasi pasti TH yang akan diangkat. Lazimnya, sekira 50 TH diangkat setiap tahun (Fajar, 17/6). Menurut Kepala BKD Sulsel, biasanya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) memberikan jatah maksimal 45 persen, untuk pengangkatan honorer kategori I (yang dibiayai APBN/APBD).

Kementerian PAN-RB menargetkan, penyelesaian masalah TH ini  tuntas pada 2012. Pengangkatan CPNS dari honorer kategori I akan dilakukan tahun ini. Sedangkan, honorer kategori II (tidak dibiayai APBN/APBD) akan dituntaskan pada 2012. Untuk honorer kategori II akan dimasukkan dalam formasi CPNS 2011 dan dites tahun ini. Sedangkan pemberkasan nomor induk pegawainya (NIP) dilakukan pada awal 2012.

Senyatanya, jumlah TH tidaklah sedikit. Data yang dimiliki Badan Kepegawaian Negara menunjukkan, jumlah TH di bawah tahun 2005 yang ada di Indonesia mencapai lebih dari 600.000 orang. Oleh pemerintah, atas dasar kemanusiaan karena pengabdiannya yang dianggap sudah cukup lama, TH diusahakan untuk diangkat sebagai CPNS. Oleh karena itu, MenPAN-RB memprioritaskan formasi TH tahun ini untuk segera diangkat menjadi CPNS.

Meski begitu, seluruh TH itu tidak bisa langsung dinaikkan statusnya menjadi CPNS. Hanya yang lolos verifikasi yang berhak menjadi CPNS. Pasalnya, TH yang mencapai 600.000 itu, ada yang tidak bisa memenuhi persyaratan, seperti umur, masa kerja, dan bidang pekerjaan mereka yang tidak sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Semua kriteria tersebut merupakan persyaratan kumulatif. Maksudnya, apabila tidak terpenuhi salah satu persyaratan yang dimaksud, maka TH tidak bisa diangkat menjadi CPNS.

Namun, pada praktiknya, persyaratan itu kerap diakali. Banyak pihak menduga, pengangkatan TH diselimuti praktik manipulasi data dalam proses pendataan TH. Bahkan, indikasi ini terjadi hampir di seluruh Indonesia. Sejak awal dikeluarkannya Surat Edaran Menteri PAN-RB No 5 Tahun 2010 tentang Pendataan TH yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah, kekhawatiran akan adanya praktik manipulasi data memang sudah muncul. 

Yang menjadi titik rawan adalah adanya praktik “jalan pintas” memaksakan nama TH yang tidak memenuhi syarat untuk masuk dalam database kepegawaian. Celah ini muncul karena pihak pejabat yang berwenang di instansi/lembaga yang bersangkutan memang memberi peluang untuk melakukan penyimpangan, atau lebih tepatnya lagi: kecurangan dalam proses pengajuan data kepegawaian. Setidaknya, ada dua modus yang biasa dilakukan.

Pertama, masa kerja TH yang bersangkutan sebenarnya tidak memenuhi syarat alias masih honorer baru. Maka, dibuatlah surat keputusan (SK) dadakan (fiktif) yang menunjukkan, seolah-olah TH itu sudah lama bekerja di satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang bersangkutan, lengkap dengan daftar penerimaan gaji dan daftar kehadiran (presensi). Modus operandi yang dilakukan para oknum itu adalah memundurkan tanggal dan tahun pengangkatan TH sebelum tahun 2005. Padahal, TH itu baru bekerja setelah tahun 2005.

Untuk keperluan tersebut, mereka tidak segan-segan mencari mantan Kepala SKPD yang bertugas tahun 2005 ke bawah guna diminta menandatangani SK honorer yang telah direkayasa. Contoh, ada TH yang diangkat tahun 2007, tiba-tiba memiliki SK tahun 2004.

Kedua, benar bahwa TH itu bekerjanya sudah sejak tahun yang lama, bahkan sangat lama, tetapi dia tidak bekerja secara terus-menerus alias bolong-bolong. Maka dibuatlah SK-SK perpanjangan kontrak yang runut dan tentu saja dilengkapi daftar terima gaji dan presensi sang honorer.

Dalam proses tipu-tipu itu, PPK juga acap terlibat. Pasalnya, PPK-lah yang mempunyai kewenangan mengusulkan ke pemerintah pusat apakah TH-nya perlu atau tidak diangkat menjadi CPNS. PPK di sini adalah pimpinan kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, kesekretariatan lembaga tinggi negara, dan pemda. Misalnya menteri, jaksa agung, kapolri, gubernur, dan bupati/walikota. Dan, sudah menjadi rahasia umum kalau PPK kerap bermain dalam penentuan kelulusan TH menjadi CPNS.

Sebagai solusinya, nama-nama TH yang lolos kriteria pengangkatan sebagai CPNS di daerah harus diumumkan secara terbuka. Misalkan, diumumkan di kantor-kantor UPTD di kecamatan dan SKPD terkait. Dengan diumumkannya nama-nama tersebut, masa kerja TH dapat diketahui oleh TH lainnya. Ini untuk mencegah pemalsuan data, sehingga akan membantu BKD dalam melakukan cek ulang bagi mereka yang lolos.

Tipu-tipu di sebalik pengangkatan TH senyatanya hanya sebagian kecil dari permasalahan kepegawaian di daerah. Hal lain yang mesti dicermati juga adalah jumlah TH yang terlampau banyak. Bayangkan, proporsi penggunaan dana alokasi umum (DAU) di daerah tidak berimbang, 70 persennya tersedot untuk membayar gaji pegawai. Kalau tidak mengurangi jumlah TH, bagaimana daerah bisa membangun?

Selama ini, daerah menganggap DAU merupakan hadiah yang diplot untuk membayar gaji pegawai. TH yang ada sejatinya tidak semua boleh diangkat menjadi CPNS. Jika diangkat semua, daerah bisa bangkrut. Dengan jumlah PNS yang ada sekarang saja, beban APBD sudah sangat berat.

Sudah sepatutnya dalam penetapan formasi dan rekrutmen pegawai dikaji ulang secara mendalam tentang berapa sebenarnya rasio kepegawaian yang proporsional. Seharusnya, pemda melakukan pembedaan kepegawaian. Antara PNS, pegawai kontrak, TH atau outsourching perlu dipetakan rasionya.

Rasio PNS yang proporsional adalah 30 persen. Tujuannya, agar pemda tidak memboroskan uang hanya untuk membayar gaji pegawai. Yang perlu diperbanyak adalah pegawai kontrak dan TH atau outsourcing. Mereka dikontrak 5-10 tahun, kalau bagus diperpanjang lagi. Tetapi, tidak perlu diangkat menjadi CPNS!

Dengan cara ini, anggaran pembangunan yang tertata dalam APBD tidak akan tergerus. Selain itu, dengan porsi 30 persen, struktur dan fungsi kerja PNS akan berubah ke arah profesional.

Related Post:

2 comments:

maju terus tenaga honorer Indonesia !!!

sabar, sabar dan sabar ... !

Post a Comment